Konsep Dasar Aborsi
Dalam konsep dasar aborsi
hal-hal yang akan dibahas meliputi pengertian aborsi, macam-macam aborsi,
teknik aborsi, alasan wanita untuk aborsi, dampak/resiko aborsi, komplikasi
aborsi dan pasal-pasal yang terkait dalam aborsi.
Pengertian Aborsi
Menurut Ozzi (2002) aborsi
adalah tindakan penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan (sebelum usia 20 minggu kehamilan), bukan semata untuk menyelamatkan
jiwa ibu hamil dalam keadaan darurat tapi juga bisa karena sang ibu tidak
menghendaki kehamilan itu. Selanjutnya Abadi (2006) mengatakan bahwa aborsi
adalah terhentinya kehidupan buah kehamilan pada usia kehamilan sebelum 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi juga diartikan mengeluarkan
atau membuang baik embrio atau fetus secara prematur (sebelum waktunya).
Billy (2008) menjelaskan
bahwa aborsi adalah adanya perdarahan dari dalam rahim perempuan hamil di mana
karena sesuatu sebab, maka kehamilan tersebut gugur & keluar dari dalam
rahim bersama dengan darah, atau berakhirnya suatu kehamilan sebelum anak
berusia 22 minggu atau belum dapat hidup di dunia luar. Biasanya disertai
dengan rasa sakit di perut bawah seperti diremas-remas & perih.
Macam-macam Aborsi
Saud (2006) mengemukakan bahwa secara garis besar
aborsi dapat kita bagi menjadi dua bagian; yakni Aborsi Spontan (Spontaneous
Abortion) dan Abortus Provokatus (Provocation Abortion).
Abortus Spontan
Menurut
Hawari (2006, hal. 62) aborsi spontan adalah kehamilan berhenti karena faktor-faktor
alamiah. Selanjutnya Tjokronegoro (2002, hal 74) mengatakan bahwa aborsi
spontan adalah aborsi yang tidak sengaja atau terjadi diluar kemauan manusia.
Aborsi spontan ini diantaranya terjadi karena perdarahan, kecelakaan, penyakit,
sipilis, dan lain sebagainya. Aborsi spontan ini masih terdiri dari berbagai
macam tahap yakni abortus iminen, abortus inkomplitus, abortus komplitus, dan
abortus insipien.
Abortus Iminen.
Saud (2006) menyatakan dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan threaten abortion,
terancam keguguran. Di sini keguguran belum terjadi, tetapi ada tanda-tanda
yang menunjukkan ancaman bakal terjadi keguguran. Selanjutnya Billy (2008)
menjelaskan aborsi iminens, yaitu adanya tanda-tanda perdarahan yang mengancam
adanya aborsi, di mana janin sendiri belum terlepas dari rahim. Keadaan seperti
masih dapat diselamatkan dengan pemberian obat hormonal serta istirahat total.
Abortus Inkomplitus. Pada aborsi ini sudah terjadi pembukaan
rahim, janin sudah terlepas & keluar dari dalam rahim namun masih ada sisa
plasenta yang menempel dalam rahim. Aborsi ini menimbulkan perdarahan yang
banyak sebelum akhirnya plasenta benar-benar keluar dari rahim. Penanganan yang
harus dilakukan adalah kuretase untuk mengeluarkan sisa plasenta yang
tertinggal. Kemudian Admin (2008) menambahkan aborsi inkompletus yaitu
pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
masih ada sisa tertinggal dalam uterus.
Abortus Komplitus. Abortus komplitus adalah semua hasil konsepsi
sudah dikeluarkan. Billy (2008) mengatakan bahwa abortus komplitus yaitu aborsi
di mana janin & plasenta sudah keluar secara lengkap dari dalam rahim,
walaupun masih ada sisa-sisa perdarahan yang kadang masih memerlukan tindakan
kuretase untuk membersihkannya. Selanjutnya Stevan (2008) menambahkan abortus
komplitus yaitu pengeluaran keseluruhan buah kehamilan dari rahim. Keadaan
demikian biasanya tidak memerlukan pengobatan.
Abortus Insipien (missed abortion). Istilah ini dipakai untuk keadaan dimana
hasil pembuahan yang telah mati tertahan dalam rahim selama 8 minggu atau
lebih. Penderitanya biasanya tidak menderita gejala, kecuali tidak mendapat
haid. Kebanyakan akan berakhir dengan pengeluaran buah kehamilan secara spontan
dengan gejala yang sama dengan abortus yang lain. Kemudian Saud (2006) menambahkan
abortus insipien adalah buah kehamilan mati di dalam kandungan,lepas dari
tempatnya, tetapi belum dikeluarkan.
Abortus Provokatus.
Aborsi
Provokatus (sengaja) masih terbagi dua bagian kategori besar yakni Abortus
Provokatus Medisinalis dan Abortus Provokatus Kriminalis (kejahatan).
Abortus Provokatus
Medisinalis. Tjokronegoro (2002, hal. 75) menjelaskan abortus provokatus
medisinalis adalah abortus yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi
medis. Dengan kata lain, sesuai dengan pemeriksaan medis yang menunjukkan
adanya gejala-gejala yang membahayakan jiwa si ibu. Selanjutnya Hawari (2006) menyatakan abortus provokatus
medisinalis adalah penghentian kehamilan (terminasi) yang disengaja karena
alasan medik. Praktek ini dapat dipertimbangkan, dapat dipertanggung-jawabkan,
dan dibenarkan oleh hukum. Kemudian Masirfan (2007) menambahkan abortus
provocatus medicinalis, yaitu aborsi yang dilakukan oleh dokter atas dasar
indikasi medis, yang bertujuan menyelamatkan jiwa ibu yang terancam bila
kehamilan dipertahankan.
Abortus
Provocatus Kriminalis. Abortus provocatus kriminalis, yaitu aborsi yang
dilakukan tanpa indikasi medis yang bertujuan untuk mengakhiri kehamilan yang
tidak dikehendaki. Tjokronegoro (2002, hal. 75) Abortus provokatus kriminalis
biasanya dilakukan untuk menghilangkan jejak hasil hubungan seks di luar nikah
atau menghilangkan kehamilan yang tidak dikehendaki, baik karena pertimbangan
ekonomi maupun akibat pergaulan seks secara bebas.
Selanjutnya
Hawari (2006, hal. 62) abortus provocatus kriminalis, yakni penghentian
kehamilan (terminasi) atau pengguguran yang melanggar hukum agama, dan melanggar
undang-undang.
Teknik Aborsi
Boyke (2007) mengemukakan
bahwa praktik aborsi dilakukan dengan beberapa macam teknik yaitu teknik
adilatasi dan kuret, teknik sunction, teknik salt poisoned, teknik histerotomi,
teknik prostaglandin dan pil RU 486.
Teknik Adilatasi dan Kuret
Teknik ini dilakukan
dengan cara sebuah alat dimasukkan untuk memperlebar lubang leher rahim. Kemudian,
janin yang hidup itu dilepaskan dari dinding rahim, dicabik kecil-kecil
menggunakan alat yang tajam, dan dibuang ke luar. Selanjutnya Ady (2008)
menyatakan bahwa teknik ini dilakukan dengan cara lubang leher rahim diperbesar,
agar rahim dapat dimasuki kuret, yaitu sepotong alat yang tajam. Kemudian janin
yang hidup itu dicabik kecil-kecil, dilepaskan dari dinding rahim dan di buang
keluar. Umumnya terjadi banyak pendarahan. Bidan operasi ini harus mengobatinya
dengan baik, bila tidak, akan terjadi infeksi.
Menurut Tjokronegoro (2002, hal. 134) teknik ini
menggunakan alat khusus mulut rahim dilebarkan, kemudian janin dicoret dengan
alat seperti sendok kecil. Adanali (2002) menjelaskan dalam teknik ini, mulut
rahim dibuka atau dimekarkan dengan paksa untuk memasukkan pisau baja yang
tajam. Bagian tubuh janin dipotong berkeping-keping dan diangkat, sedangkan
plasenta dikerok dari dinding rahim. Darah yang hilang selama dilakukannya
metode ini lebih banyak dibandingkan dengan metode penyedotan. Begitu juga dengan
perobekan rahim dan radang paling sering terjadi.
Figur 1
Teknik Adilatasi dan Kuret
(1)
|
(2)
|
Teknik Sunction
Adanali (2002) mengatakan
bahwa pada 1-3 bulan pertama dalam kehidupan janin, aborsi dilakukan dengan
metode penyedotan. Teknik inilah yang paling banyak dilakukan untuk kehamilan
usia dini. Mesin penyedot bertenaga kuat dengan ujung tajam dimasukkan ke dalam
rahim lewat mulut rahim yang sengaja dimekarkan. Penyedotan ini mengakibatkan
tubuh bayi berantakan dan menarik ari-ari (plasenta) dari dinding rahim. Hasil
penyedotan berupa darah, cairan ketuban, bagian-bagian plasenta dan tubuh janin
terkumpul dalam botol yang dihubungkan dengan alat penyedot .
Selanjutnya Land (2008) menambahkan bahwa ketelitian
dan kehati-hatian dalam menjalani metode ini sangat perlu di jaga guna
menghindari robeknya rahim akibat salah sedot yang dapat mengakibatkan
pendarahan hebat yang terkadang berakhir pada operasi pengangkatan rahim.
Peradangan dapat terjadi dengan mudahnya jika masih ada sisa-sisa plasenta atau
bagian dari janin yang tertinggal di dalam rahim.
Teknik Salt Poisoned
Cara ini dilakukan pada
janin berusia lebih dari 16 minggu (4 bulan), ketika sudah cukup banyak cairan
yang terkumpul di sekitar bayi dalam kantung anak, sebatang jarum yang panjang
dimasukkan melalui perut ibu ke dalam kantung bayi, lalu sejumlah cairan
disedot keluar dan larutan garam yang pekat disuntikkan ke dalamnya. Bayi ini
menelan garam beracun itu dan ia amat menderita. Ia meronta-ronta dan menendang-nendang
seolah-olah dibakar hidup-hidup oleh racun itu. Dengan cara ini, bayi akan mati
dalam waktu kira-kira 1 jam, kulitnya benar-benar hangus. Dalam waktu 24 jam
kemudian, ibu akan mengalami sakit beranak dan melahirkan seorang bayi yang
sudah mati.
Selanjutnya Boyke (2007) menjelaskan bahwa cara
ini dilakukan pada janin berusia lebih dari 16 minggu, ketika sudah cukup
banyak cairan yang terkumpul di sekitar bayi dalam kantong anak sehingga sulit
memasukkan alat karena ruang gerak bayi semakin menyempit.
Teknik Histerotomi
Pengguguran bayi dilakukan
ketika kandungan berumur lebih dari enam bulan. Cara ini menggunakan sebuah
alat bedah yang dimasukkan melalui dinding perut. Bayi kadang langsung dibunuh
dengan menggunakan teknik pil bunuh (Pil Roussell-Uclaf/RU-486). Selanjutnya
Gulardi (2002) menjelaskan bahwa teknik ini terutama dilakukan 3 bulan terakhir
dari kehamilan. Rahim dimasuki alat bedah melalui dinding perut. Bayi kecil ini
di keluarkan dan di biarkan saja agar mati atau kadang-kadang langsung di
bunuh.
Teknik Prostaglandin
Penggunaan cara terbaru ini memakai bahan-bahan
kimia yang dikembangkan Upjohn Pharmaceutical Co. Bahan-bahan kimia ini
mengakibatkan rahim ibu mengerut, sehingga bayi yang hidup itu mati dan
terdorong keluar. Kerutan ini sedemikian kuatnya sehingga ada bayi-bayi yang
terpenggal. Sering juga bayi yang keluar itu masih hidup. Efek sampingan bagi
si ibu banyak sekali ada yang mati akibat serangan jantung waktu cairan kimia
itu disuntikkan. Kemudian Sigi (2005) menjelaskan teknik baru ini menggunakan
bahan-bahan kimia yang mengakibatkan rahim ibu mengerut sehingga bayi yang
hidup itu mati dan terdorong keluar.
Pil Roussell-Uclaf (RU 486)
Pil Roussell-Uclaf (RU-486), satu campuran obat
buatan Perancis tahun 1980. Pengaborsiannya butuh waktu tiga hari dan disertai
kejang-kejang berat serta pendarahan yang dapat terus berlangsung sampai 16 hari.
Menurut Trujilo (2003) masyarakat menamakannya "Pil Aborsi Perancis".
Teknik ini menggunakan 2 hormon sintetik yaitu mifepristone dan misoprostol
untuk secara kimiawi menginduksi kehamilan usia 5-9 minggu.
Di Amerika Serikat, prosedur ini dijalani dengan
pengawasan ketat dari klinik aborsi yang mengharuskan kunjungan sedikitnya 3
kali ke klinik tersebut. Pada kunjungan pertama, wanita hamil tersebut di
periksa dengan seksama. Jika tidak ditemukan kontra-indikasi (seperti perokok
berat, penyakit asma, darah tinggi, kegemukan, dll) yang malah dapat
mengakibatkan kematian pada wanita hamil itu, maka ia diberikan pil RU 486.
Selanjutnya Adanali (2002) menambahkan kerja pil
RU 486 adalah untuk memblokir hormon progesteron yang berfungsi vital untuk
menjaga jalur nutrisi ke plasenta tetap lancar. Karena pemblokiran ini, maka
janin tidak mendapatkan makanannya lagi dan menjadi kelaparan. Pada kunjungan
kedua, yaitu 36-48 jam setelah kunjungan pertama, wanita hamil ini diberikan
suntikan hormon prostaglandin, biasanya misoprostol, yang mengakibatkan
terjadinya kontraksi rahim dan membuat janin terlepas dari rahim.
Kebanyakan wanita mengeluarkan isi rahimnya itu
dalam 4 jam saat menunggu di klinik, tetapi 30% dari mereka mengalami hal ini
di rumah, di tempat kerja, di kendaraan umum, atau di tempat-tempat lainnya,
ada juga yang perlu menunggu hingga 5 hari kemudian. Kunjungan ketiga dilakukan
kira-kira 2 minggu setelah pengguguran kandungan, untuk mengetahui apakah
aborsi telah berlangsung. Jika belum, maka operasi perlu dilakukan (5-10 persen
dari seluruh kasus). Ada beberapa kasus serius dari penggunaan RU 486, seperti
aborsi yang tidak terjadi hingga 44 hari kemudian, pendarahan hebat,
pusing-pusing, muntah-muntah, rasa sakit hingga kematian.
Di Amerika Serikat, percobaan penggunaan RU 486
diadakan pada tahun 1995. Seorang wanita diketahui hampir meninggal setelah
kehilangan separuh dari volume darahnya dan akhirnya memerlukan operasi
darurat. Efek jangka panjang dari RU 486 belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa
alasan yang dapat dipercaya mengatakan bahwa RU 486 tidak saja mempengaruhi
kehamilan yang sedang berlangsung, tetapi juga dapat mempengaruhi kehamilan
selanjutnya, yaitu kemungkinan keguguran spontan dan cacat pada bayi yang
dikandung.
Alasan Wanita untuk Aborsi
Menurut Reardon (2007) Aborsi
dilakukan oleh seorang wanita hamil, baik yang telah menikah maupun yang belum
menikah dengan berbagai alasan. Sesuai dengan adat di Indonesia yang
menilai kehamilan di luar nikah merupakan aib bagi keluarga dan belum bisa
diterima oleh masyarakat, akhirnya mereka dengan mudah membunuh janin yang ada
di dalam rahimnya. Selanjutnya Djena (2008) menambahkan bahwa menurut
penelitian Elliot Institute’s Post Abortion Review menunjukkan bahwa dalam 95%
dari semua kasus pria memegang peran utama dalam keputusan aborsi dan 80%
wanita ingin melahirkan bila didukung. Oleh sebab itu seringkali aborsi adalah
pilihan orang lain dalam kehidupannya. Ada tiga alasan wanita memutuskan untuk
aborsi yaitu alasan medis, alasan sosial (non-medis) dan alasan psikiatris.
Alasan Medis
Jika
kehamilan dapat membawa maut atau bahaya bagi wanita seperti wanita berpenyakit
jantung, penyakit paru-paru, hipertensi, penyakit ginjal, diabetes mellitus,
kanker payudara, kanker leher rahim. Kemudian Kusmaryanto (2005, hal. 121)
menjelaskan bahwa aborsi dengan alasan medis adalah aborsi yang dilakukan oleh
karena adanya tanda atau keadaan yang menunjukkan atau menggambarkan
pelangsungan kehamilan akan menyebabkan kerusakan serius pada kesehatan ibu
yang tidak bisa dipulihkan atau bahkan bisa menyebabkan kematian ibu.
Tetapi untuk
melakukan hal tersebut juga harus ada usaha yang serius untuk mengetahui apakah
memang aborsi ini secara objektif menjadi satu-satunya cara untuk menjaga
kesehatan ibu. Apakah masih ada kemungkinan lain untuk menjaga kesehatan itu
dengan cara yang lain tanpa harus melakukan aborsi. Disini diperlukan suatu
kejujuran dalam menegakkan diagnosis medis dan sekaligus tugas mulia riset
medis untuk menemukan cara-cara baru dalam menjaga dan memelihara hidup
manusia.
Selanjutnya Hawari
(2006, hal. 65) menambahkan bahwa penghentian kehamilan yang berdasarkan pertimbangan medik, misalnya bila
kehamilan itu diteruskan dapat membahayakan keselamatan ibu yang bersangkutan.
Atas pertimbangan medik maka janin yang dikandungnya dapat digugurkan. Atau ibu
yang mengidap suatu penyakit, misalnya mengalami gangguan jiwa atau jantung.
Apalagi ibu sedang meminum obat-obatan yang dapat mengakibatkan gangguan
perkembangan janin dalam kandungan.
Pengguguran berlatar belakang medikpun ada
ketentuannya. Boleh dilakukan terminasi kehamilan (aborsi), dengan catatan
janin yang dikandungnya belum berumur duabelas minggu (tiga bulan). Karena
secara kedokteran sejak usia ini baru dapat didengar bunyi jantung. Bentuknya
sudah lengkap hanya ukurannya masih sangat kecil. Setelah melewati usia itu
dengan resiko apapun, janin tidak boleh digugurkan; karena teknologi modern
sudah dapat menjaga kehamilan ibu. Kalau dia lemah jantung bisa diperkuat
jantungnya, kalaupun sudah sembilan bulan tidak bisa melahirkan juga dapat
dilakukan pembedahan.
Alasan Sosial (Non-Medis)
Dengan berbagai alasan
seseorang melakukan aborsi tetapi alasan yang paling utama adalah alasan-alasan
non-medis. Menurut Katangsungkana (2005) alasan seseorang
melakukan aborsi antara lain: hamil diluar nikah, tidak ingin memiliki anak, belum siap karena masih terlalu muda, sudah memiliki banyak
anak, akibat perkosaan, dan hubungan intim satu darah.
Selanjutnya Jacqueline (2005) menambahkan alasan apapun
yang wanita lakukan untuk melakukan aborsi menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui akan keajaiban-keajaiban yang dirasakan
seorang calon ibu dan hanya menunjukkan ketidakpedulian seorang
wanita, yang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Aborsi dengan
alasan sosial (non-medis) dapat terjadi karena berbagai hal, antara lain:
kehamilan tidak diinginkan/ kehamilan di luar nikah dan masalah ekonomi.
Kehamilan tidak diinginkan/
kehamilan di luar nikah. Tindakan aborsi
kebanyakan terjadi karena kehamilan yang tidak diinginkan. dan biasanya ibu
berusaha dengan berbagai cara untuk mengakhiri kehamilannya tersebut. Jika
tidak dapat memperoleh pertolongan melalui jalur resmi maka ibu akan mencoba
jalur non-resmi yang tentu saja memiliki risiko amat tinggi dan tentu saja
kemungkinan besar tindakan ini akan berakhir pada kematian sang ibu.
Riza (2007) mengemukakan bahwa kehamilan yang
tidak diingini dalam jumlah yang besar juga terjadi pada kelompok remaja. Para
remaja yang dihadapkan pada realitas pergaulan bebas masyarakat modern itu,
tidak dibekali sedikitpun dengan pengetahuan tentang fisiologi reproduksi dan
perilaku seksual yang benar. Berdasarkan data WHO diketahui bahwa di seluruh
dunia, setiap tahunnya diperkirakan ada sekitar 15 juta remaja yang mengalami
kehamilan. Sekitar 60% di antaranya tidak ingin melanjutkan kehamilan tersebut
dan berupaya mengakhirinya.
Kemudian Wimpie (2008) menjelaskan meningkatnya
kasus aborsi di kalangan remaja semata bukan salah remaja. Kondisi lingkungan
sosial yang berkembang secara cepat, dan di sisi lain pengetahuan remaja
tentang seksual dan aborsi sangat rendah merupakan salah satu faktor penyebab.
Apalagi pergaulan remaja yang makin bebas, juga menjadi penyebab meningkatnya
kasus aborsi. Terjadinya perubahan pola hidup masyarakat, terutama dalam
pergaulan bebas, ternyata tidak dibarengi dengan pengetahuan seks yang benar.
Pendidikan seks bagi sebagian masyarakat masih dinilai tabu. Kondisi ini makin
menambah jumlah remaja yang hamil sebelum nikah. Melihat kenyataan itu, remaja
yang melakukan aborsi sesungguhnya menjadi korban.
Masalah Ekonomi. Salah satu alasan terbesar melakukan aborsi
adalah masalah ekonomi, karena biasanya ibulah yang khawatir kalau tidak bisa
memberikan makan dan keperluan lain. Pertolongan aborsi yang tidak aman lebih
banyak dialami oleh kelompok masyarakat yang miskin, karena ketidaktahuan dan
ketidakmampuan untuk membiayai jasa pertolongan profesional. Sebaliknya,
kelompok masyarakat yang kaya yang dikatakan relatif lebih banyak yang melakukan
aborsi, mempunyai risiko lebih kecil untuk mendapat pertolongan aborsi yang
tidak aman.
Kusmaryanto (2005, hal. 123) menyatakan bahwa alasan ekonomi tidak bisa dijadikan
alasan untuk dilakukannya aborsi sebab hidup manusia itu jauh lebih bernilai
daripada semua nilai ekonomi. Hidup manusia itu tidak bisa diganggu gugat. Selanjutnya
Hamina (2006) menambahkan bahwa kehamilan yang tidak dikehendaki boleh mendatangkan
kesan negatif terhadap wanita mempunyai beban fisikal, emosi dan keuangan.
Wanita juga kerap mengalami tekanan dan kemurungan apabila mengandung anak yang
tidak dikehendaki. Sebagai penyelesaian wanita mengambil keputusan menggugurkan
kandungan secara diam-diam.
Dampak/ Resiko Aborsi
Aborsi memiliki resiko yang tinggi
terhadap kesehatan maupun keselamatan seorang wanita. Tidak benar jika
dikatakan bahwa jika seseorang melakukan aborsi tidak merasakan apa-apa dan
langsung boleh pulang. Resiko
kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi berisiko kesehatan dan
keselamatan secara fisik dan gangguan psikologis.
Resiko pada Kesehatan dan Keselamatan secara Fisik
Clowes (2008) mengemukakan pada saat melakukan aborsi dan
setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita
yaitu: a) kematian mendadak karena pendarahan hebat, b) kematian mendadak
karena pembiusan yang gagal, c) kematian secara lambat akibat infeksi serius
disekitar kandungan, d) rahim yang sobek, e) kerusakan leher rahim yang akan
menyebabkan cacat pada anak berikutnya, f) kanker payudara karena ketidakseimbangan
hormon estrogen pada wanita, g) kanker indung telur, h) kanker leher rahim, i)
kanker hati, j) kelainan pada plasenta/ari-ari
yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan
hebat pada saat kehamilan berikutnya, k) menjadi mandul/tidak mampu memiliki
keturunan lagi, l) infeksi rongga panggul, m) infeksi pada lapisan rahim.
Resiko Gangguan Psikologis
Menurut Clowes(2008) proses
aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan
dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang
sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita.
Reardon (2007) menyatakan bila seorang ibu secara kasar dipisahkan
dari anaknya akan terjadi trauma alamiah. Ibu telah mengalami peristiwa
kematian yang tidak alamiah. Dalam banyak kasus telah melanggar etika moral dan
nalurinya yang alamiah. Terjadi pukulan yang menghancurkan citra dirinya
sebagai seorang ibu yang memelihara, melindungi dan mempertahankan hidup.
Pada dasarnya seorang wanita
yang melakukan aborsi akan mengalami hal-hal sebagai berikut: 55% dari yang mengaborsi mengalami mimpi
buruk dan dihantui aborsi, 73% menggambarkan kilas balik (flashback), 58%
wanita melaporkan berpikiran bunuh diri yang dihubungkan secara langsung dengan
aborsi yang telah dilakukan, 68% menyatakan merasa buruk tentang dirinya, 79%
melaporkan rasa bersalah tanpa mampu memaafkan diri sendiri, 63% mengalami
ketakutan akan kehamilan mendatang dan menjadi orangtua, mengalami kesulitan bila berdekatan dengan
bayi-bayi, 67% menggambarkan dirinya ”tumpul emosinya”.
Komplikasi
Aborsi
Tjokronegoro (2002, hal. 15) menyatakan
bahwa pengakhiran kehamilan tidak selalu aman. Di negara-negara yang pengakhiran
kehamilannya belum legal, banyak perempuan mati atau mendapat masalah kedokteran
yang serius setelah berusaha melakukan pengakhiran kehamilannya sendiri atau
pergi ke dukun yang memakai alat-alat
sangat primitif atau tidak bersih. Akhirnya perempuan-perempuan itu akan
mengalami komplikasi yang sangat serius, seperti: perforasi uterus, sisa-sisa
plasenta yang tertinggal, perdarahan, robekan mulut rahim, infeksi hebat,
keracunan, shock dan gangrene. Di seluruh dunia, di negara-negara dimana
pengakhiran kehamilan masih ilegal, pengakhiran kehamilan merupakan penyebab
utama kematian ibu.
Menurut Azrul (2006) aborsi sangat
berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan bagi wanita apabila dilakukan dengan sembarangan
oleh yang tidak terlatih. Perdarahan yang terus menerus serta infeksi yang
terjadi setelah tindakan aborsi merupakan sebab utama kematian bagi perempuan
yang mengalami aborsi. Akan tetapi kematian yang disebabkan komplikasi sering
tidak muncul dalam laporan kematian tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau
sepsis.
Selanjutnya Yathie (2007) menambahkan
bahwa komplikasi akibat aborsi yang tidak aman menyebabkan
kurang lebih dari 40% kematian ibu diseluruh dunia. Artinya paling tidak
200.000 dari 500.000 kematian setiap tahun akibat proses yang berhubungan
dengan kehamilan dan persalinan, meninggal karena aborsi yang tidak aman. Baik
yang tercatat maupun yang tidak tercatat. Komplikasi yang mungkin terjadi
antara lain: perforasi dalam, infeksi,
perdarahan dan pengakhiran kehamilan tidak lengkap.
Perforasi Dalam
Melakukan kerokan harus diingat bahwa
selalu ada kemungkinan terjadinya perforasi dinding uterus, yang dapat menjurus
ke rongga peritoneum, ke ligamentum latum, atau ke kandung kencing. Oleh sebab
itu letak uterus harus
ditetapkan
lebih dahulu dengan seksama pada awal tindakan, dan pada dilatasi serviks
jangan digunakan tekanan berlebihan. Pada kerokan kuret dimasukkan dengan
hati-hati, akan tetapi penarikan kuret ke luar dapat dilakukan dengan tekanan
yang lebih besar.
Selanjutnya
Joomla (2008) menjelaskan bahwa bahaya perforasi ialah perdarahan dan
peritonitis. Apabila terjadi perforasi atau diduga terjadi peristiwa itu,
penderita harus diawasi dengan seksama dengan mengamati keadaan umum, nadi,
tekanan darah, kenaikan suhu, turunnya hemoglobin, dan keadaan perut bawah.
Jika keadaan meragukan atau ada tanda-tanda bahaya, sebaiknya dilakukan
laparatomi percobaan dengan segera.
Infeksi
Menurut Riza (2007)
komplikasi dini dan yang paling sering adalah infeksi yang disebabkan oleh
aborsi yang tidak lengkap, yang sebagian atau seluruh produk pembuahan masih
tersisa di dalam rahim. Infeksi merupakan salah satu komplikasi aborsi yang
paling fatal. Infeksi yang paling serius yang jarang ditemukan adalah infeksi
bakteri anaerob yang menyebabkan tetanus. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh
penggunaan peralatan yang tidak bersih.
Clowes
(2008) menyatakan bahwa apabila syarat asepsis dan antisepsis tidak diindahkan,
maka bahaya infeksi sangat besar. Infeksi kandungan yang terjadi dapat menyebar
ke seluruh peredaran darah, sehingga menyebabkan kematian. Bahaya lain yang
ditimbulkan abortus kriminalis antara lain infeksi pada saluran telur.
Akibatnya, sangat mungkin tidak bisa terjadi kehamilan lagi.
Perdarahan
Penyebab kematian kedua yang paling
penting adalah perdarahan. Perdarahan dapat disebabkan oleh aborsi yang tidak
lengkap atau cedera organ panggul atau usus. Kematian biasanya disebabkan oleh
tidak tersedianya darah atau fasilitas transfusi rumah sakit. Selanjutnya
Joomla (2008) menambahkan bahwa kerokan pada kehamilan agak tua atau pada mola
hidatidosa ada bahaya perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu hendaknya
diselenggarakan transfusi darah dan sesudah kerokan selesai dimasukkan tampon
kasa ke dalam uterus dan vagina.
Pengakhiran
Kehamilan Tidak Lengkap
Menurut Tjokronegoro (2002, hal. 17)
pengakhiran kehamilan tidak lengkap yaitu sebagian jaringan kehamilan masih
tertinggal di dalam rongga uterus, sehingga tindakannya harus di ulang. Sesuai
dengan tujuan dari abortus itu sendiri yaitu ingin mengakhiri kehamilan, maka
nasib janin pada kasus abortus provokatus kriminalis sebagian besar meninggal.
Kalaupun bisa hidup, itu berarti tindakan abortus gagal dilakukan dan janin
kemungkinan besar mengalami cacat fisik.
Pasal yang Terkait dalam Aborsi
Menurut
hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk
kejahatan, yang dikenal dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis.” Dimana
yang menerima hukuman yaitu: ibu yang melakukan aborsi, dokter, bidan atau
dukun yang membantu melakukan aborsi, orang-orang yang mendukung terlaksananya
aborsi. Hawari (2006, hal. 59) menyatakan dalam UU No. 23 Tahun 1992, tentang
kesehatan mengatakan “dalam kondisi tertentu bisa dilakukan tindakan medis
tertentu (aborsi)”.
No comments:
Post a Comment