2.1.1
Pengertian Penyapihan
Penyapihan berasal dari kata menyapih, yang dimaksud dengan menyapih
adalah menghentikan pemberian ASI kepada anak, masa ini merupakan masa yang
paling kritis dalam kehidupan anak (Depkes RI, 1998).
Menyapih adalah masa dihentikannya pemberian ASI kepada anak. Masa ini
merupakan masa yang sangat kritis dalam kehidupan anak (Moehji, 2000).
Penyapihan dini adalah pemberhentian ASI kepada bayi
sebelum usia satu tahun (Depkes RI, 1996).
Selanjutnya yang dimaksud
dengan penyapihan adalah penghentian sama sekali anak itu dari menyusui. Masa
penyapihan yang banyak dianjurkan adalah jika anak sudah mencapai usia satu
tahun, karena pada masa ini produksi ASI sudah menurun. Sapihan adalah
merupakan transisi selama beberapa bulan, dimana selain susu ibu, diberikan
makanan anak dan diikuti pengurangan pemberian susu ibu (Moehji, 2000). Menurut
Roesli (2000) salah satu faktor penyebab penyapihan pada anak oleh ibu adalah
tidak adanya pusat informasi program ASI dan manajemen laktasi yang benar serta
terlalu gencarnya promosi susu formula.
2.1.2
Usia Penyapihan Anak
Proses penyapihan pada anak
dipersiapkan secara berangsur-angsur sehingga pada waktunya, anak sudah siap
dan sudah terbiasa dengan makanan tambahan selain ASI. Usaha penyapihan itu
dimulai pada saat anak mencapai usia sembilan bulan, anak sudah dikenalkan
dengan makanan sapihan (Moehji, 2000).
Pada anak yang menerima ASI selama masa persiapan penyapihan, frekuensi
menyusu dikurangi secara berangsur-angsur sampai pada akhirnya anak disusui
hanya pada waktu bangun pagi dan menjelang tidur malam hari. Hendaknya para ibu
berusaha melakukan penyapihan dengan penuh sabar. Penyapihan yang dipaksakan
akan menyebabkan terhentinya secara paksa kontak fisik antara anak dan ibu
(Moehji, 1997).
Keadaan terhentinya kontak fisik dapat menyebabkan trauma kejiwaan (physicological
trauma) dan memperhatikan keadaan anak menjadi gelisah dan timbul rasa
cemas dan jika keadaan demikian terjadi untuk waktu yang relatif lama dapat
menimbulkan berbagai masalah kejiwaan dikemudian hari. Anak menjadi kurang
berani, cenderung selalu bergantung pada orang lain dan kurang mampu hidup
mandiri (Moehji, 1997).
urae � a i P� �� jam.c. proteinuria lebih dari 0.3 gr/liter.
d. keluhan subyektif ; nyeri epigastrium, gangguan penglihatan, nyeri kepala, oedem paru dan sianosis, serta gangguan kesadaran.
e. Pemeriksaan ; kadar enzim hati meningkat disertai ikterus, perdarahan pada retina dan trombosit kurang dari 100.000/mm
Peningkatan gejala dan tanda preeklampsia berat memberikan petunjuk akan terjadi eklampsia. Preeklamsia pada tingkat kejang disebut eklampsia.
2.2.6. Diagnosis Preeklampsia
Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan mortalitas rendah bagi ibu dan bayinya. Walaupun terjadinya preeklampsia sulit dicegah, namun preeklampsia dan eklampsia umumnya dapat dihindari dengan mengenal secara dini penyakit itu dengan penanganan sedini mungkin.
Pada umumnya diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya dua dari trias tanda utama yaitu ; hipertensi, oedem dan proteinuria. Hal ini memang berguna untuk kepentingan statistik, tetapi dapat merugikan penderita karena tiap tanda dapat merupakan petanda meskipun ditemukan tersendiri. Adanya satu tanda harus menimbulkan kewaspadaan karena perkembangan penyakit tidak dapat diramalakan dan bila eklampsi terjadi, maka prognosis bagi ibu maupun janin jauh lebih buruk. Tiap kasus preeklampsi harus ditangani dengan sungguh-sungguh.
Diagnosis diferensial antara preeklampsi dengan hipertensi menahun atau penyakit ginjal tidak jarang menimbulkan kesulitan. Pada hipertensi menahun adanya tekanan darah yang meninggi sebelum hamil, pada kehamilan muda atau 6 bulan postpartum akan sangat berguna untuk membuat diagnosis. Pemeriksaan fundoskopi juga berguna karena perdarahan dan eksudat jarang ditemukan pada preeklampsia, kelainan tersebut biasanya menunjukkan hipertensi menahun. Untuk diagnosis penyakit ginjal saat timbulnya proteinuria banyak menolong, proteinuria pada preeklampsi jarang timbul sebelum triwulan ke-3, sedangkan pada penyakit ginjal timbul lebih dahulu. Test fungsi ginjal juga banyak berguna, pada umumnya fungsi ginjal normal pada preeklampsia ringan.
2.2.7. Penanganan Preeklampsia
2.2.7.1. Preeklampsia ringan
a. jika kehamilan < 37 minggu dan tidak ada tanda-tanda perbaikan, lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan :
§ pantau tekanan darah, proteinuria, reflek patela dan kondisi janin
§ lebih banyak istirahat
§ diat biasa
§ tidak perlu diberi obat-obatan
§ jika dirawat jalan tidak mungkin, rawat di rumah sakit :
- diet biasa
- pantau tekanan darah 2 kalisehari, proteinuria 1 kali sehari
- tidsak perlu obat-obatan
- tidak perlu diuretik, kecuali terdapat oedem paru atau gagal ginjal akut
- jika tekanan distolik turun sampai normal pasien dapat dipulangkan, nasehatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda preeklampsi berat, kontrol 2 kali seminggu, jika tekanan darah diastolik naik lagi, rawat kembali.
- Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan, tetap dirawat.
- Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan terminasi kehamilan.
- Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai preeklampsia berat.
b. jika kehamilan > 37 minggu, pertimbangkan terminasi
- jika serviks matang lakukan induksi dengan oksitosin 5 IU dalam 500ml dekstrose IV 10 tetes/menit atau dengan prostaglandin.
- Jika serniks belum matang, berikan prostaglandin, misoprostol atau kateter foley atau terminasi dengan seksio sesarea.
2.2.7.2. Preeklampsia berat dan eklampsia
Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali bahwa persalina harus berlangsung dalam 12 jam setelah timbulnya kejang pada preeklampsia.
a. penanganan kejang
- berikan obat anti konvulsan
- perlengkapan untuk penanganan kejang ( jalan nafas, sedotan, masker oksigen, dan oksigen )
- lindungi pasien dari kemungkinan trauma
- aspirasi mulut dan kerongkongan
- baringkan pasien pada sisi kiri, posisi tredelenburg untuk mengurangi aspirasi.
- Beri oksigen 4-6 liter per menit
b. penangan umum
- jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi sampai tekanan distolik diantara 90-100 mmHg
- pasang infus ringer laktat dengan jarum besar (16 gauge >1)
- ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload
- kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan protein
- jika jumlah urin < 30 ml per jam ; infus cairan dipertahankan 1 1/8 jam, pantau kemungkinan oedem paru
- jangan tinggalkan pasien sendirian, kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan kamatian ibu dan janin
- observasi tanda-tanda vital, refleks patela dan denyut jantung janin setiap jam.
- Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda oedem paru. Jika ada oedem paru stop pemberian cairan dan berikan diuretik, misalnya furosemide 40 mg IV
- Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside, jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati.
No comments:
Post a Comment